Selasa, 18 September 2012

Pornografi ataukah Seni

      Topik mengenai masalah seksualitas, erotika dan pornografi belakangan ini kembali menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak kalangan. Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral dan pendapat yang menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam tataran seni tidak pernah habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang baru namun karena sifatnya yang timbul tenggelam,  maka tema perbincangan ini seolah tidak pernah berakhir. Hal ini sangatlah bergantung pada fokus dan lokus dimana  unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam tampilan yang beragam mulai dari iklan sabun yang seronok, video klip artis yang terlalu vulgar, beredarnya VCD porno mahasiswa/siswa SMU, pameran foto-foto nudis  beberapa artis  sampai aksi panggung  artis dangdut  yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas penyanyinya.
      Debat mengenai hal ini mungkin tidak akan berkembang menjadi suatu polemik yang berkepanjangan, jika saja persoalan-persoalan seputar seksualitas ini dikemas dalam suatu frame yang memuat pengaturan mengenai media yang digunakan, cara peredaran serta pasar yang akan dituju. Artinya tidak menjadi tontonan yang bersifat massal  tanpa peduli mengenai dampak yang mungkin ditimbulkannya.
      Satu hal yang juga menjadi salah satu aspek perdebatan mengenai hal ini adalah bahwa secara umum- walaupun tidak semua- objek dari kegiatan yang mengandung unsur erotika dan sejenisnya ini adalah perempuan. Ketika berbicara mengenai perempuan, maka pandangan umum kerap mengidentikkan perempuan dengan 3 (tiga) unsur yang dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah taste yang merepresentasikan perempuan  sebagai makhluk yang cantik, lembut dan indah.
      Pencitraan perempuan yang demikian bisa mengandung makna  penghormatan pada satu sisi, namun disisi lain juga sekaligus merupakan penegasan dari sosok perempuan itu sendiri yang hanya diterima sebatas pada kategori ketiga kata tersebut

Pengertian Pornografi
      Pornografi memang sering dipersepsikan dengan cara yang beragam. Interpretasi pornografi diberi batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan cara yang tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi sebagai seks (berupa tampilan gambar,aksi maupun teks), namun ada juga pihak yang memandang pornografi sebagai seni/art (berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya, cara bicara, atau teks yang menyertai suatu tampilan).
      Namun jika dilihat dari asal katanya, sesungguhnya Pornografi berasal dari kata Yunani yaitu “porne”  yang berarti pelacur dan “grape” yang berarti tulisan atau gambar. Jadi pengertian pornografi  sebenarnya lebih menunjuk pada segala karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan pelacur (Ade Armando,2003:1).
      Batasan pornografi dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang membatasi pornografi sebagai penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu birahi. Sedangkan menurut Tong, pornografi  merupakan propaganda patriarchal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan laki-laki.  Andrea Drowkin berpandangan pornografi adalah sebuah industri yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan, pornografi menyebarkan kekerasan terhadap perempuan, pornografi mendehumanisasi seluruh perempuan dan pornografi menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk menyebarkan pelecehan seksual.  

Pornografi Ataukah Seni ?
      Seni adalah sebuah ekspresi kebebasan. Kebebasan adalah milik semua orang,  sesuatu  yang sangat berharga yang dapat dimiliki oleh setiap insan manusia. Kebebasan adalah sesuatu yang tanpa batas yang tidak tersentuh oleh apa yang disebut belenggu apapun bentuk dan namanya. Hal mengenai kebebasan inilah juga yang seolah menjadi nafas bagi sebuah bentuk berkesenian. Namun persoalan kebebasan berekspresi dalam dunia seni adalah polemik dan wacana yang terus berkembang dari masa ke masa, benarkah bebas dalam berkesenian secara absolute menisbikan segala sesuatunya menjadikan bebas tanpa batas dan digunakan sebagai  dasar pembenar bagi logika-logika mereka yang mengklaim diri sebagai pekerja seni ? Pada sebagian pihak berkembang pendapat yang menyatakan bahwa memasung ekspresi dalam dunia seni adalah bentuk pembunuhan terhadap kebebasan berekspresi itu sendiri dan itu berarti pembunuhan karakter seseorang.
      Pandangan demikian sepenuhnya tidak benar, kebebasan berekspresi dalam berkesenian akan menemui batasannya bilamana mulai menyentuh antara lain wilayah seksualitas atau pornografi. Dengan demikian kebebasan berekspresi dalam dunia seni tidaklah sebebas sebagaimana makna dari kata bebas itu sendiri. Kebebasan akan selalu berimplikasi pada masalah sosial, nilai dan moral. Dimana kebebasan itu akan berhadapan dengan nilai-nilai kehidupan sosial manusia lain. Oleh karenanya membatasi kebebasan berkesenian bukanlah berarti menghalangi hak untuk berekspresi secara umum, namun  lebih pada upaya agar tidak berbenturan dengan nilai sosial dan konsep moralitas  yang dianut orang lain.   
      Pada tahun 1908 seorang arkeolog Josef Szombathy menemukan patung kecil perempuan tanpa busana di dalam Lumpur di suatu daerah di luar kota Willendorf, Austria yang kemudian dikenal dengan Venus dari Willendorf yang mengekspos secara detail kelamin dengan penggambaran payudara dan pantat yang besar. Saat itu aura seksualitas yang diumbar dari patung ini melahirkan konflik yang sengit di antara kalangan arkeolog. Silang pendapat mengenai penggambaran patung Venus tersebut dianggap apakah sebagai kesenian yang pornografik ataukah merupakan patung  lambang kesuburan dari sifat keperempuanan ? Pada akhirnya mereka yang merasa terganggu oleh erotisme yang ditimbulkan oleh patung itu melarang pemuatan gambar patung tersebut dalam buku-buku kesenian untuk hampir selama 60 tahun sejak patung tersebut ditemukan. 
      Hal serupa juga terjadi pada lukisan yang diberi judul “Ketika Ciuman” karya Auguste Rodin yang pada saat dipamerkan di Paris, Perancis pada tahun 1898 oleh seorang pengritik dikatakan sebagai sebuah karya besar. Namun lukisan ini pada dasawarsa yang sama tidak jadi dipamerkan di Amerika  yang pada saat itu memiliki adat yang ketat mengenai masalah seksualitas. Akhirnya karya Auguste Rodi tersebut disingkirnkan ke dalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi yang ingin melihatnya harus memperoleh ijin khusus ( Burhan Bungin,2003:166).  
      Dari dua contoh di atas menggambarkan bahwa unsur kepatutan dan kesantunan juga berlaku di kalangan pekerja seni. Para pekerja seni dengan mengatasnamakan seni tidak bisa mendapatkan perlakuan instimewa yang menyebabkan mereka berhak mengekspresikan apapun tanpa batasan. Sebuah karya seni memang layak untuk dinikmati oleh semua orang, namun tetap pada batasan “seni” yang tidak melanggar  kelaziman  dari pengertian seni itu sendiri. Seorang pelukis/fotografer berhak/bebas membuat lukisan/gambar pria/wanita tanpa busana, namun peruntukkan hasil lukisannya mempunyai bersifat terbatas. Jika menjadi koleksi pribadi dan disimpan di tempat yang bersifat pribadi tentu sah adanya. Akan lain masalahnya jika dipertontonkan pada khalayak umum, karena saat itu juga standar nilai dan moral masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan yang harus juga dihormati. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar