Topik
mengenai masalah seksualitas, erotika dan pornografi belakangan ini kembali
menarik perhatian dan menjadi bahan perbincangan oleh banyak kalangan.
Perdebatan mengenai batasan antara nilai-nilai moral dan pendapat yang
menempatkan seksualitas, erotika dan pornografi dalam tataran seni tidak pernah
habis dibahas. Walaupun hal ini bukanlah sesuatu yang
baru namun karena sifatnya yang timbul tenggelam, maka tema perbincangan
ini seolah tidak pernah berakhir. Hal ini sangatlah bergantung pada fokus dan
lokus dimana unsur erotika, seksualitas dan pornografi itu muncul dalam
tampilan yang beragam mulai dari iklan sabun yang seronok, video klip artis
yang terlalu vulgar, beredarnya VCD porno mahasiswa/siswa SMU, pameran
foto-foto nudis beberapa artis sampai aksi panggung artis
dangdut yang dipandang terlalu mengeksploitasi unsur sensualitas
penyanyinya.
Debat mengenai hal ini
mungkin tidak akan berkembang menjadi suatu polemik yang berkepanjangan, jika
saja persoalan-persoalan seputar seksualitas ini dikemas dalam suatu frame yang
memuat pengaturan mengenai media yang digunakan, cara peredaran serta pasar
yang akan dituju. Artinya tidak menjadi tontonan yang bersifat massal
tanpa peduli mengenai dampak yang mungkin ditimbulkannya.
Satu hal yang juga
menjadi salah satu aspek perdebatan mengenai hal ini adalah bahwa secara umum-
walaupun tidak semua- objek dari kegiatan yang mengandung unsur erotika dan
sejenisnya ini adalah perempuan. Ketika berbicara mengenai perempuan, maka
pandangan umum kerap mengidentikkan perempuan dengan 3 (tiga) unsur yang
dipakai untuk mengkonstruksikan sebuah taste yang merepresentasikan
perempuan sebagai makhluk yang cantik, lembut dan indah.
Pencitraan
perempuan yang demikian bisa mengandung makna penghormatan pada satu
sisi, namun disisi lain juga sekaligus merupakan penegasan dari sosok perempuan
itu sendiri yang hanya diterima sebatas pada kategori ketiga kata tersebut
Pengertian Pornografi
Pornografi memang
sering dipersepsikan dengan cara yang beragam. Interpretasi pornografi diberi
batasan yang berbeda-beda. Orang bebas mengartikan pornografi dengan cara yang
tidak sama. Ada pihak yang memandang pornografi sebagai seks (berupa tampilan
gambar,aksi maupun teks), namun ada juga pihak yang memandang pornografi
sebagai seni/art (berupa cara berbusana, gerakan, mimik, gaya, cara bicara,
atau teks yang menyertai suatu tampilan).
Namun jika dilihat dari
asal katanya, sesungguhnya Pornografi berasal dari kata Yunani yaitu
“porne” yang berarti pelacur dan “grape” yang berarti tulisan atau
gambar. Jadi pengertian pornografi sebenarnya lebih menunjuk pada segala
karya baik yang dituangkan dalam bentuk tulisan atau lukisan yang menggambarkan
pelacur (Ade Armando,2003:1).
Batasan pornografi
dirumuskan secara berbeda oleh Tukan yang membatasi pornografi sebagai
penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, foto, film, video
kaset, pertunjukkan, pementasan dan ucapan dengan maksud merangsang nafsu
birahi. Sedangkan menurut Tong, pornografi merupakan propaganda
patriarchal yang menekankan perempuan adalah milik, pelayan, asisten dan mainan
laki-laki. Andrea Drowkin berpandangan pornografi adalah sebuah industri
yang menjual perempuan, pornografi adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan,
pornografi menyebarkan kekerasan terhadap perempuan, pornografi mendehumanisasi
seluruh perempuan dan pornografi menggunakan rasisme dan anti semitisme untuk
menyebarkan pelecehan seksual.
Pornografi Ataukah Seni ?
Seni adalah sebuah
ekspresi kebebasan. Kebebasan adalah milik semua orang, sesuatu
yang sangat berharga yang dapat dimiliki oleh setiap insan manusia. Kebebasan
adalah sesuatu yang tanpa batas yang tidak tersentuh oleh apa yang disebut
belenggu apapun bentuk dan namanya. Hal mengenai kebebasan inilah juga yang
seolah menjadi nafas bagi sebuah bentuk berkesenian. Namun persoalan kebebasan
berekspresi dalam dunia seni adalah polemik dan wacana yang terus berkembang
dari masa ke masa, benarkah bebas dalam berkesenian secara absolute menisbikan
segala sesuatunya menjadikan bebas tanpa batas dan digunakan sebagai
dasar pembenar bagi logika-logika mereka yang mengklaim diri sebagai pekerja
seni ? Pada sebagian pihak berkembang pendapat yang menyatakan bahwa memasung
ekspresi dalam dunia seni adalah bentuk pembunuhan terhadap kebebasan
berekspresi itu sendiri dan itu berarti pembunuhan karakter seseorang.
Pandangan demikian
sepenuhnya tidak benar, kebebasan berekspresi dalam berkesenian akan menemui
batasannya bilamana mulai menyentuh antara lain wilayah seksualitas atau
pornografi. Dengan demikian kebebasan berekspresi dalam dunia seni tidaklah
sebebas sebagaimana makna dari kata bebas itu sendiri. Kebebasan akan selalu
berimplikasi pada masalah sosial, nilai dan moral. Dimana kebebasan itu akan
berhadapan dengan nilai-nilai kehidupan sosial manusia lain. Oleh karenanya
membatasi kebebasan berkesenian bukanlah berarti menghalangi hak untuk
berekspresi secara umum, namun lebih pada upaya agar tidak berbenturan
dengan nilai sosial dan konsep moralitas yang dianut orang lain.
Pada tahun 1908 seorang
arkeolog Josef Szombathy menemukan patung kecil perempuan tanpa busana di dalam
Lumpur di suatu daerah di luar kota Willendorf, Austria yang kemudian dikenal
dengan Venus dari Willendorf yang mengekspos secara detail kelamin dengan
penggambaran payudara dan pantat yang besar. Saat itu aura seksualitas yang
diumbar dari patung ini melahirkan konflik yang sengit di antara kalangan
arkeolog. Silang pendapat mengenai penggambaran patung Venus tersebut dianggap
apakah sebagai kesenian yang pornografik ataukah merupakan patung lambang
kesuburan dari sifat keperempuanan ? Pada akhirnya mereka yang merasa terganggu
oleh erotisme yang ditimbulkan oleh patung itu melarang pemuatan gambar patung
tersebut dalam buku-buku kesenian untuk hampir selama 60 tahun sejak patung
tersebut ditemukan.
Hal serupa juga terjadi
pada lukisan yang diberi judul “Ketika Ciuman” karya Auguste Rodin yang pada
saat dipamerkan di Paris, Perancis pada tahun 1898 oleh seorang pengritik
dikatakan sebagai sebuah karya besar. Namun lukisan ini pada dasawarsa yang
sama tidak jadi dipamerkan di Amerika yang pada saat itu memiliki adat
yang ketat mengenai masalah seksualitas. Akhirnya karya Auguste Rodi tersebut
disingkirnkan ke dalam kamar tersendiri pada Pekan Pameran Dunia dan bagi yang
ingin melihatnya harus memperoleh ijin khusus ( Burhan
Bungin,2003:166).
Dari dua contoh di atas
menggambarkan bahwa unsur kepatutan dan kesantunan juga berlaku di kalangan
pekerja seni. Para pekerja seni dengan mengatasnamakan seni tidak bisa
mendapatkan perlakuan instimewa yang menyebabkan mereka berhak mengekspresikan
apapun tanpa batasan. Sebuah karya seni memang layak untuk dinikmati oleh semua
orang, namun tetap pada batasan “seni” yang tidak melanggar
kelaziman dari pengertian seni itu sendiri. Seorang pelukis/fotografer
berhak/bebas membuat lukisan/gambar pria/wanita tanpa busana, namun peruntukkan
hasil lukisannya mempunyai bersifat terbatas. Jika menjadi koleksi pribadi dan
disimpan di tempat yang bersifat pribadi tentu sah adanya. Akan lain masalahnya
jika dipertontonkan pada khalayak umum, karena saat itu juga standar nilai dan
moral masyarakat harus menjadi bahan pertimbangan yang harus juga
dihormati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar